Sehat

Peneliti UI : Terapi Insulin di FKTP Hemat JKN Rp 1,7 Triliun

426
×

Peneliti UI : Terapi Insulin di FKTP Hemat JKN Rp 1,7 Triliun

Sebarkan artikel ini
Bisa Hemat Uang Negara Rp 1,7 Triliun, Peneliti UI Saran Insulin Bisa Diberikan dalam tempat Puskesmas lalu Klinik
Peneliti Universitas Indonesia (UI) sarankan pemerintah berikan terapi insulin untuk pasien diabetes sejak di area Fasilitas Kesehatan alias Faskes tingkat 1 (FKTP) seperti Puskemas kemudian Klinik, sebab bisa jadi menghemat uang BPJS Kesehatan alias JKN hingga Rp 1,7 triliun.

Saran ini diberikan tak asal-asalan, akibat sesuai hasil temuan Pusat kajian Ekonomi juga Kebijakan Kesehatan, Universitas Indonesia (CHEPS UI) oleh Diabetes in Primary Care (DIAPRIM) yang digunakan menyebut biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada pasien diabetes berkurang 14 persen.

Studi ini dilaksanakan peneliti dengan menganalisis biaya perawatan pasien diabetes alias DIAPRIM, menemukan banyak manfaat apabila terapi insulin dialihkan dari Faskes Tingkat Lanjut (FKTFL) ke FKTP, salah satunya menghemat biaya Rp 1,7 triliun setiap tahunnya.

Hal ini terlihat dari estimasi penghematan yang dijalani peneliti sekitar Rp 22 triliun bila diimplementasikan sejak 2024 hingga 2035 mendatang.

“Pendekatan ini bukan semata-mata terbukti dapat menghemat biaya, tetapi juga berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien dan juga mencegah komplikasi. Hasil studi menekankan pentingnya merealisasikan hasil temuan ke dalam langkah-langkah yang tersebut dapat ditindaklanjuti,” ujar Kepala Peneliti CHEPS UI, Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, Ph.D melalui rilis Novo Nordisk Indonesia memperingati Hari Diabetes Sedunia yang tersebut diterima suara.com, Rabu (15/11/2023).

Prof. Budi juga menjelaskan langkah yang tersebut bisa saja diimplementasikan untuk menghemat biaya, yaitu dengan merubah kebijakan seperti menyesuaikan Formularium Nasional melalui Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) untuk diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yang mana artinya memperbolehkan dokter umum Faskes 1 yang dimaksud punya kompetensi diabetes boleh mulai memberikan terapi insulin.

Insulin adalah hormon alami yang dimaksud diproduksi oleh pankreas. Sedangkan terapi insulin adalah metode untuk menurunkan kadar gula darah penderita diabetes melitus secara cepat.

Dengan cara ini Prof. Budi percaya bisa jadi mereformasi pelayanan kesehatan primer, sekaligus bantu upaya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk perubahan fundamental sistem kesehatan Indonesia.

Ia juga menambahkan memberikan insulin sejak Faskes 1 juga susah sesuai dengan standar minimum kompetensi lulusan dokter (SKDI), dimana lulusan dokter harus punya kompetensi manajemen diabetes. Sehingga tidak ada melulu pasien diabetes setiap saat harus memohonkan surat rujukan Faskes 1 untuk sanggup mendapatkan insulin Faskes Lanjutan, yang akan lebih banyak memakan waktu.

Menanggapi hasil studi ini, Ketua PP Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), Prof. Dr. dr. Ketut Suastika menjelaskan, pemberian insulin sejak dalam Faskes 1 bisa saja menambah prospek mengasah kemampuan dokter umum di area Faskes 1 seperti Puskesmas maupun klinik, untuk menangani kasus pra-diabetes melitus (DM), kasus DMT2 tanpa komplikasi, lalu melakukan tindakan pencegahan komplikasi untuk kasus DMT2 berat.

“Mengasah kapasitas merekan dapat menghasilkan pendekatan yang tersebut tambahan proaktif, membantu deteksi dini, kemudian manajemen diabetes yang efektif, yang digunakan pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap biaya pelayanan kesehatan di area bawah JKN,” ujar Prof. Ketut.

Perlu diketahui, Prevalensi diabetes di tempat Indonesia terus meningkat dari 10,7 jt jiwa dalam 2019 menjadi 19,5 jt dalam 2021. Kondisi ini membawa Indonesia dalam urutan ke-5 dunia, naik dari peringkat tujuh pada 2019.

Laporan BPJS 2020 juga menunjukkan, hanya sekali 2 jt jiwa yang dimaksud telah lama terdiagnosa dan juga mendapatkan penanganan melalui JKN, dan juga hanya saja 1,2 persen kasus yang mana dapat mengontrol kadar gula darah dia dengan baik untuk menghindari komplikasi.

Mirisnya, kondisi ini berpotensi meningkatkan pengeluaran biaya pemerintah untuk menangani komplikasi. Apalagi laporan CHEPS Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia serta PERKENI 2016 menunjukkan, 74 persen anggaran diabetes digunakan untuk mengobati komplikasi.